Monday, January 23, 2012

Ketakutan akan Stigma dan Diskriminasi, kendala utama penanganan HIV/AIDS

Ketakutan akan Stigma dan Diskriminasi, kendala utama penanganan HIV/AIDS

Masyarakat masih memberikan stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV / AIDS. Faktor-faktor yang menimbulkan stigma dan diskriminasi di masyarakat adalah karena penyakit HIV / AIDS dapat mengancam jiwa, informasi yang kurang tepat mengenai penyakit HIV / AIDS dan adanya kepercayaan dimasyarakat bahwa penyakit ini adalah merupakan suatu “hukuman” atas perbuatan yang melanggar moral atau tidak bertanggungjawab sehingga penderita HIV / AIDS itu “pantas” untuk menerima perlakuan-perlakuan yang tidak selayaknya mereka dapatkan. Adanya ketakutan, stigmatisasi dan diskriminasi menimbulkan dampak penolakan dari masyarakat bahkan penolakan dari akses pendidikan dan kesehatan. Tindakan penolakan itu bisa berupa sekedar ucapan hingga berupa penyiksaan psikologis dan fisik yang traumatis. Trauma yang diterima penderita HIV menjadi bertumpuk-tumpuk, selain trauma karena tahu yang akan terjadi pada tubuhnya bila menderita HIV, juga trauma karena adanya stigma dan diskriminasi yang melekat terus sepanjang hidupnya.
Ketakutan tidak diterima masyarakat dan ditolak dimana-mana bisa menghambat kemauan para resiko tinggi menderita HIV dan orang yang dicurigai menderita HIV untuk dilakukan pemeriksaan. Mereka tidak ingin tahu dan tidak mau tahu kalau mereka menderita HIV. Padahal kemauan secara sadar untuk mendatangi fasilitas untuk mengetes positif tidaknya orang ini sangat dibutuhkan saat ini. Perkembangan di bidang kesehatan memberikan kemudahan pengetesan HIV yang sebanding dengan pengetesan gula darah, dimana Rapid Test HIV dapat dilakukan hanya dengan menggunakan sedikit darah dapat dilakukan ditingkat Puskesmas tertentu. Akan menjadi percuma dibangunnya klinik VCT di tiap RSUD dan puskesmas berbasis reproduksi bila stigma dan diskriminasi masih saja menghantui para resiko tinggi HIV/AIDS untuk menggunakan fasilitas ini.


Perkembangan penelitian obat-obatan antiretroviral maupun penelitian obat-obatan peningkat sistem imun mampu mengurangi dampak buruk dari penyakit ini. Seharusnya, penderita HIV bisa diperlakukan yang sama dengan pengindap virus yang lain. Bukankah virus Flu Babi lebih menakutkan karena bisa menular tanpa adanya kontak fisik sekalipun?. Fakta sudah membuktikan bahwa  disaat ini  HIV / AIDS sudah menjadi penyakit yang  dapat dicegah dan diterapi maka diharapkan perubahan perilaku penolakan, stigma dan diskriminasi akan dapat dikurangi.


Stigma HIV/AIDS masih berkutat pada masalah seks

Awalnya memang perkembangan HIV  / AIDS dikalangan yang suka berganti-ganti pasangan, Homoseksual, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) cukup tinggi, tetapi itu terjadi pada tahun sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980 an. Sehingga yang terjadi di masyarakat memberikan stigma bahwa yang terkena HIV / AIDS biasanya juga dari kalangan homoseksual dan PSK. Penularan melalui hubungan seksuallah yang digembar-gemborkan sebagai penyebab utama penyakit HIV / AIDS sehingga kampanye penggunaan kondom dan safe sex pun digalakkan dimana-mana.
Kampanye dan konseling juga dilakukan pada kalangan yang dianggap beresiko tinggi terhadap penyakit HIV / AIDS ini. Bermunculan LSM dan lembaga-lembaga milik pemerintah yang menekankan perilaku seksual sebagai penyebab utama penularan penyakit ini, dan ini masih berlangsung hingga sekarang. Usaha-usaha yang telah dilakukan antara lain adalah adanya Peer Konseling, Penyuluhan Kesehatan Reproduksi, Penyluhan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), penyuluhan kepada organisasi yang menampung para homoseksual, skreening kepada pada PSK, serta fokus – fokus lain yang masih saja berkutat pada “seks”. Usaha – usaha ini sudah cukup berhasil menekan penularan HIV / AIDS lewat transmisi seksual.


Paradigma baru pola transmisi HIV/AIDS yang didominasi oleh pengguna narkotika intavena dan masalah yang terkait

Padahal saat ini pola transmisi HIV / AIDS lewat seksual sudah tergeser dengan pengguna narkotika intravena terinfeksi HIV. Pada tahun 2002 saja, pengguna narkotika intravena terinfeksi HIV mencapai 50-78% dan 63% yang dirawat di UPIPI RSU Dr.Soetomo berlatar belakang pengguna narkotika intravena. Begitu pula yang terjadi didunia, pergeseran ini sudah merupakan hal yang global.
Yang menjadi masalah yang baru adalah para pengguna narkotika intravena adalah kalangan yang “eksklusif” tidak mudah untuk dijamah oleh orang-orang diluar kalangan mereka. Masalah pertama adalah pengguna narkotika intravena ini tidak memiliki wadah atau pengkoordinasi sebagaimana organisasi homoseksual atau organisasi yang mewadahi para PSK. Sehingga kesulitan terjadi untuk mendata dan memberikan konseling kepada orang-orang yang resiko tinggi dari kalangan ini, dampaknya progresivitas pertumbuhan HIV/AIDS di seluruh dunia menjadi sangat tidak terkontrol.
Masalah kedua, para pengguna ini banyak berasal dari kalangan yang dianggap “orang baik-baik” bahkan selebriti yang baru bisa terjamah setelah tertangkap tangan menggunakan narkotika. Pembuktiannya seseorang menggunakan narkotika saja cukup sulit, sehingga konseling juga jarang terjadi sebelum orang tersebut ketahuan memakainya. Masalah ketiga, penggunaan narkotika intravena itu adalah hal yang melanggar hukum sehingga tidak akan ada orang mau dengan sukarela mengakui kalau menggunakannya meskipun diiming-iming akan mendapatkan pemeriksaan dan konseling HIV/AIDS gratis. Pemeriksaan rutinpun susah dilakukan pada kalangan ini, berbeda dengan para PSK yang berada dilokalisasi yang bisa dilakukan pemantauan berkala dari pihak Puskesmas terdekat.
Alternatif solusi yang telah dicobakan kepada para pengguna narkoba intravena ini dilakukan di DKI dan Bali yaitu Needle Exchange Program (NEP) dan Program Methadone. Meskipun begitu program ini masih mendapatkan banyak tantangan baik dari masyarakat maupun dari aparat. Misalnya saja di Bali, anggota LSM yang berusaha mengumpulkan jarum bekas untuk ditukar dengan yang baru harus berurusan dengan polisi karena bagaimanapun jarum bekas pengguna narkoba adalah suatu barang bukti.
Alternatif lain menurut saya yang bisa dilakukan adalah meningkatkan penyuluhan NAPZA dengan plus informasi terkait mengenai HIV/AIDS yang baik dan benar sehingga diharapkan pengguna NAPZA sekaligus penderita HIV/AIDS juga berkurang

Saran saya lewat slogan
  • “Jauhkan diri Anda dan orang yang Anda cintai dari NAPZA” slogan ini penting selain untuk mengurangi jumlah pengguna NAPZA sendiri juga sekaligus mengurangi jumlah terjangkit HIV/AIDS lewat transmisi narkotika intravena.
  • “ Single needle for “single person” atau Use disposible spuit for your drug, kalau memang sudah terjadi ketergantungan narkoba disarankan tidak memakai jarum dan spuit secara bergantian.
  • “No Stigma, No HIV/AIDS, No Cry” Hilangkan stigma pada ODHA, jangan ada diskriminasi, hingga tidak ada lagi tangis diantara mereka.
Bahan Belajar:
  1. Nasroudin, HIV&AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial Cet-1 , 2007, Airlangga University Press
  2. http://www.avert.org/aidsstigma.htm
  3. http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2007/09/03/stigma-terhadap-hivaids-di-makasar-2007/
  4. Bisnis Indonesia Edisi 28/11/2004
  5. http://www2.umy.ac.id/2008/12/hilangkan-stigma-negatif-pada-odha/
KET : Materi tulisan ini pernah diikutsertakan lomba penulisan HIV/AIDS yang diadakan KPA Pusat

Oleh : Intan Nurswida,dr

No comments:

Post a Comment