Ketakutan akan Stigma dan Diskriminasi, kendala utama penanganan HIV/AIDS
Masyarakat masih memberikan
stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV /
AIDS. Faktor-faktor yang menimbulkan
stigma dan diskriminasi di masyarakat adalah karena penyakit HIV /
AIDS dapat mengancam jiwa, informasi yang kurang tepat mengenai penyakit HIV /
AIDS dan adanya kepercayaan dimasyarakat bahwa penyakit ini adalah merupakan suatu “hukuman” atas perbuatan yang melanggar moral atau tidak bertanggungjawab sehingga penderita HIV /
AIDS itu “pantas” untuk menerima perlakuan-perlakuan yang tidak selayaknya mereka dapatkan.
Adanya ketakutan,
stigmatisasi dan diskriminasi menimbulkan dampak penolakan dari masyarakat bahkan penolakan dari akses pendidikan dan kesehatan. Tindakan penolakan itu bisa berupa sekedar ucapan hingga berupa penyiksaan psikologis dan fisik yang traumatis. Trauma yang diterima penderita HIV menjadi bertumpuk-tumpuk, selain trauma karena tahu yang akan terjadi pada tubuhnya bila menderita HIV, juga trauma karena adanya stigma dan diskriminasi yang melekat terus sepanjang hidupnya.
Ketakutan tidak diterima masyarakat dan ditolak dimana-mana bisa menghambat kemauan para resiko tinggi menderita HIV dan orang yang dicurigai menderita HIV untuk dilakukan pemeriksaan. Mereka tidak ingin tahu dan tidak mau tahu kalau mereka menderita HIV. Padahal kemauan secara sadar untuk mendatangi fasilitas untuk mengetes positif tidaknya orang ini sangat dibutuhkan saat ini. Perkembangan di bidang kesehatan memberikan kemudahan pengetesan HIV yang sebanding dengan pengetesan gula darah, dimana Rapid Test HIV dapat dilakukan hanya dengan menggunakan sedikit darah dapat dilakukan ditingkat Puskesmas tertentu. Akan menjadi percuma dibangunnya klinik VCT di tiap RSUD dan puskesmas berbasis reproduksi bila stigma dan diskriminasi masih saja menghantui para resiko tinggi HIV/AIDS untuk menggunakan fasilitas ini.